Warung bakso di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menarik perhatian masyarakat setelah memasang spanduk besar yang bertuliskan “Bakso Babi (Tidak Halal) – Informasi ini disampaikan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kapanewon Kasihan.” detiknews+2detikfood+2
Unggahan video dan foto spanduk itu tersebar luas di media sosial hingga menimbulkan pro-kontra. kumparan+1
Penjelasan DMI dan MUI
Ketua DMI Ngestiharjo, Arif Widodo, membenarkan pemasangan spanduk dengan tujuan menyampaikan bahwa warung tersebut menjual daging babi agar konsumen Muslim tidak terkecoh. detikfood+1
Ketua MUI Kapanewon Kasihan, Armen Siregar, menyatakan spanduk semula dipasang sejak Januari 2025. Dia menyebut terdapat multitafsir karena warga mengira DMI/MUI mendukung usaha tersebut, padahal maksudnya hanya memberi informasi. detiknews+1
Dinamika Perdebatan
-
Sejumlah warga Muslim merasa resah karena sebelumnya mereka membeli tanpa tahu warung menjual bakso berbahan babi. kumparan
-
Beberapa komunitas lokal menyebut perlu prosedur yang lebih formal agar label “tidak halal” muncul secara resmi untuk produk non-halal. kumparan
-
Pihak penjual tampak enggan berkomentar saat ditanya soal viral tersebut. detiknews

Catatan Hukum & Regulasi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mewajibkan pelaku usaha mencantumkan keterangan “non-halal” secara jelas jika produk mengandung bahan haram atau najis. kumparan
Label seperti “Bakso Babi” yang dipasang secara inisiatif oleh lembaga keagamaan menjadi langkah informatif bagi konsumen Muslim tetapi juga menimbulkan debat mengenai batas peran lembaga keagamaan dalam usaha komersial.
Setelah video dan foto spanduk “Bakso Babi (Tidak Halal)” viral di media sosial, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kapanewon Kasihan segera melakukan pertemuan bersama perangkat desa, Babinsa, dan pihak warung. Hasil rapat menetapkan bahwa spanduk akan diganti dengan tulisan yang lebih jelas agar tidak menimbulkan salah tafsir. (tribunjogja.com)
Ketua DMI Ngestiharjo, Arif Widodo, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengizinkan pencantuman logo lembaga tanpa koordinasi resmi. Ia menilai penggunaan logo DMI di spanduk tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik. Setelah klarifikasi, DMI menginstruksikan pencopotan seluruh logo lembaga dari materi promosi usaha yang bersinggungan dengan isu halal dan non-halal.
MUI DIY juga menyoroti pentingnya pembinaan pelaku usaha non-halal agar memiliki tanda identifikasi yang sah. Sekretaris MUI DIY, Ahmad Syakir, menyatakan bahwa label non-halal sebaiknya menggunakan prosedur dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama, bukan inisiatif pribadi atau lembaga luar. (kompas.com)
Warga sekitar warung menyambut langkah itu dengan lega. Mereka menilai informasi yang jelas bisa menghindarkan kesalahpahaman antara konsumen Muslim dan non-Muslim. Beberapa tokoh masyarakat bahkan mengusulkan agar pemerintah daerah menetapkan zona khusus untuk usaha non-halal supaya tidak menimbulkan konflik sosial di kemudian hari.
Pakar komunikasi publik, Dr. Sinta Rahmawati, menjelaskan bahwa fenomena ini menunjukkan pentingnya literasi keagamaan dalam ranah bisnis kuliner. Ia menilai langkah DMI dan MUI menjadi pembelajaran publik bahwa transparansi informasi harus disampaikan dengan cara yang tidak menyinggung sensitivitas agama. (tempo.co)
Kesimpulan
Kasus warung bakso berspanduk DMI/MUI ini menampilkan pentingnya transparansi dalam bisnis makanan non-halal dan kesadaran konsumen. Meski niatnya memberi informasi bagi masyarakat Muslim, pelabelan tersebut memicu pertanyaan mengenai persepsi sponsor dan hubungan antara lembaga keagamaan dan usaha.
